Candi Cetho Lereng Gunung Lawu, Perpaduan Apik Wisata Alam dan Sejarah Kerajaan Majapahit
Candi Cetho merupakan kompleks bangunan bersejarah bercorak agama Hindu yang berada di lereng Gunung Lawu. Candi yang dibangun pada masa-masa menjelang runtuhnya kerajaan Majapahit ini, telah mengalami banyak pemugaran sehingga menjadi semegah seperti bisa kita lihat sekarang ini. Dulu, saat pertama kali ditemukan pada tahun 1842, kondisi Candi Cetho begitu memprihatinkan. Hanya berupa runtuhan bangunan yang tertutup lumut dan sebagian teruruk tanah.
Pagi itu, bersama travelmate Anggun Josie Pasemawati, aku mendatangi Candi Cetho untuk mengisi hari libur akhir pekan. Kami datang nggak dijemput pulang nggak diantar. Mirip-mirip jelangkung memang. Tapi tak apa.
Kami berangkat dari kota Surakarta kira-kira jam tujuh dan berharap ketika sampai tempatnya sudah buka. Menurut informasi yang kami peroleh dari sumber terpercaya, jam buka Candi Cetho adalah dari jam 08.00 pagi sampai jam 17.00 sore Waktu Indonesia Barat.
Lokasi atau alamat Cetho ada di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Posisinya yang berada di ketinggian 1.496 mdpl, membuat suhu di kawasan Candi Cetho begitu sejuk dan kerap berkabut. Kawasan Candi Cetho juga merupakan jalur baru pendakian Gunung Lawu 3.266 mdpl, melengkapi dua jalur sebelumnya yang sudah lebih dulu populer; Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu.
Cara menuju lokasi Candi Cetho jika dari arah kota Solo kayak kami, ketika sampai di pertigaan Candi Sukuh pilih yang berbelok ke kiri. Jarak tempuhnya dari kota Solo ke pertigaan ini sekitar satu jam perjalanan. Sebaliknya, jika datangnya dari arah kota Tawangmangu atau Magetan, di pertigaan Candi Sukuh beloknya belok kanan. Dan nggak perlu khawatir, di persimpangan itu jalan yang mengarah ke Candi Cetho sangat mudah terlihat karena juga merupakan jalan besar dan ada papan petunjuk arah.
Aku pribadi, dari pertigaan ke Candi Cetho menghabiskan waktu sekitar sejam. Jaraknya sebenarnya sudah tidak terlalu jauh. Hanya saja, suasana dan kondisi di jalan yang membuat aku tidak bisa melarikan motor kencang-kencang.
Misalnya saat melewati kebun teh Kemuning. Aku terpaksa melambatkan laju motor karena sambil tolah-toleh melihat indahnya pemandangan alam lereng gunung Lawu. Sesekali bahkan harus berhenti untuk foto-foto dan demi lebih khusyuk menikmati kecenya perkebunan teh yang terhampar luas bagaikan bentangan karpet hijau.
Selain terhambat oleh pemandangan indah, penyebab perjalanan kami tidak bisa cepat juga karena kondisi jalan yang banyak menanjak dan sesekali dihiasi lubang-lubang dari aspal yang mulai rusak mungkin akibat pergaulan bebas.
Bahkan dua kilometer menjelang tiba di kompleks Candi Cetho, treknya benar-benar berubah ganas. Berkelok-kelok disertai tanjakan-tanjakan yang tajam. Sudut kemiringannya mungkin mencapai 50 derajat. Hal yang wajar mengingat letak Candi Cetho berada di kaki gunung Lawu. Kendaraan harus merayap menyusuri lereng-lereng gunung untuk menuju lokasi. Kulihat beberapa pengunjung yang mengendarai motor bebek dan motor matic, terpaksa menurunkan penumpangnya karena motor tidak sanggup dipakai berboncengan.
Serunya saat aku ke sana, kabut di sekitar Candi Cetho sedang tebal banget. Lampu motor hanya tembus sekitar sembilan meter saja. Kalau tidak hati-hati bisa terperosok keluar badan jalan. Untungnya di setiap tikungan ada petugas yang memberi aba-aba.
Tiba di tempat, kami disambut beberapa warga sekitar yang mengibar-ngibarkan bendera menawarkan jasa parkir. Tapi aku memilih parkir di tidak jauh dari loket. Biaya parkir kendaraan di Candi Cetho untuk sepeda Rp 2.000 dan Rp 5.000 untuk kendaraan roda empat alias mobil.
Sementara harga tiket masuk ke Candi Cetho adalah Rp 7.500. Harga segitu untuk turis lokal. Buat kamu yang berasal dari luar negeri harga karcisnya Rp 25.000. Selain itu masih ada biaya sewa kain Kapuh. Kain Kapuhnya bercorak kotak-kotak hitam putih mirip papan catur. Harga sewanya seikhlasnya. Setiap pengunjung yang masuk lokasi Candi Cetho wajib mengenakan kain Kampuh dengan cara diikat melingkar lebar di pinggang. Semacam tapih gitulah kalau dalam bahasa Jawanya. Tidak boleh dengan cara lain misalnya digunakan sebagai syal atau diikat kecil kayak sabuk. Kalau tidak tahu cara memasangnya, bisa minta bantu ke petugas-petugas yang bertugas di sana.
Luas kompleks percandian Cetho sekitar satu hektar dikelilingi ladang-ladang warga dan hutan lereng Gunung Lawu. Bangunan candinya memanjang naik berbentuk punden berundak-undak sebanyak 14 tingkat. Sembilan tingkat di antaranya sudah dipugar cantik dan terbuka untuk umum.
Setiap tingkatan atau punden memiliki spot foto yang keren-keren. Terutama di gapura utama yang berbentuk candi bentar yang ala-ala Bali itu. Di sana paling laris digunakan pelancong untuk foto-foto. Berdiri di gapura itu, kita akan disuguhi pemandangan alam di sekitar Candi Cetho yang begitu mempesona. Kalau cuaca cerah berawan tak berkabut, pengunjung bisa merasakan sensasi berdiri sejajar dengan awan.
Tapi seyogyanya setiap pengunjung bisa sedikit merenung, bahwa Candi Cetho bukan sekedar tumpukan batu yang bagus untuk background foto yang akan dipamer di sosial media. Di baliknya, tersimpan sejarah kelam kemunduran kerajaan Majapahit. Hasil penelitian mengungkapkan, pembangunan Candi Cetho adalah sebagai sarana pemujaan dan meruwat kerajaan Majapahit, yang pada masa itu terus dilanda konflik perpecahan jelang kehancurannya.
Setelah membeli karcis dan mengenakan kain Kampuh, kami mulai memasuki kompleks Candi Cetho. Cuaca begitu dingin. Kabut tebal menyelimuti kawasan candi membuat suasana tampak gelap meski hari sudah beranjak siang.
Di tingkat pertama kami disambut papan informasi tentang Candi Cetho dan sepasang arca penjaga yang berdiri saling membelakangi. Naik ke teras tingkat kedua, gantian megahnya gerbang berbentuk candi Bentar yang menyambut kami. Gapura ini merupakan bangunan tambahan saat pemugaran. Walau banyak para ahli arkeologi meragukan kebenaran keberadaan gerbang seperti itu di masa Candi Cetho yang asli dulu, tapi tak bisa dipungkiri bahwa adanya gapura itu sukses membuat destinasi ini semakin menarik.
Dari tingkat tiga sampai tingkat lima lebih merupakan halaman candi. Masuk ke teras keenam ada gapura yang pada dindingnya berisi tulisan tahun pembuatan candi berserta tujuan pembangunannya dalam bentuk tulisan Jawa kuno.
Di tingkatan-tingkatan selanjutnya, ada batu yang dijejer-jejer rapi menyerupai gambar kura-kura raksasa. Ada yang menyimbolkan alat reproduksi pria. Ada juga beberapa simbol beberapa jenis hewan. Ada beberapa arca dan tempat pertapaan. Dan di tingkat paling atas terdapat bangunan berbentuk kubus dibalut bendera merah putih. Tapi bagian puncak ini tertutup dan terkunci. Wisatawan tidak diperkenankan masuk.
Kurang lebih dua jam aku dan Neng Josie jalan-jalan selow di kompleks Candi Cetho. Terbayang betapa hebatnya orang-orang pada masa lampau. Mendirikan tempat pemujaan di medan yang berat lereng gunung, lalu untuk melaksanakan peribadatan harus berjalan kaki mendaki gunung membelah belantara dalam suhu yang begitu dingin. Apa kabar aku yang untuk ke masjid berjarak 100 meter aja males-malesan?
Kiranya sampai di sini cerita tentang perjalanan kami ke Candi Cetho, pariwisata andalan Karanganyar, Jawa Tengah. Buat yang berniat ngetrip ke sini, jangan lupa selama di kompleks Candi menjaga perilaku serta sopan santun. Jangan bersenda gurau berlebihan, ketawa cekakakan, ngomong asal jeplak, jangan alay pecicilan dan jangan buang sampah sembarangan. Sebab selain objek wisata nan eksotis, Candi Cetho juga merupakan tempat pemujaan bagi umat Hindu yang sangat dikeramatkan. Happy Travelling.
16 komentar untuk "Candi Cetho Lereng Gunung Lawu, Perpaduan Apik Wisata Alam dan Sejarah Kerajaan Majapahit"
Ternyata masih ada candi lainnya ya? Yang ini saya baru denger....
Murah sekali itu tiket masuknya. Semoga saja ada waktu bisa jalan-jalan dan piknik ke candi cetho. Pakai motor sendiri-sendiri biar kuat nanjak, tidak mau berboncengan :)
#kepo
Suka banget lihat foto terakhir di gapura candi Cetho, kesan magisnya dapet 👍!.
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.