Ekspedisi Gokil ke Gunung Pundak 1585 Mdpl Via Puthuk Siwur
Kegiatan mendaki Gunung Pundak 1585 Mdpl via Puthuk Siwur ini sebenarnya terjadi pada 26 Maret 2017 lalu. Baru sempat kutulis sekarang karena sebelumnya nggak sempat. Dan pendakian ke Gunung Pundak ini merupakan pengalaman pertamaku mendaki gunung. Sebelumnya aku kalau mendaki, ya, karena jarang mandi. Badan jadi penuh daki gitu. Hiyy. Karena aku percaya, orang yang terlalu rajin mandi itu, di saat berumur 80 tahun nanti akan terlihat tua. Makanya aku jadi gayungphobia. Sebuah kelainan jiwa dengan gejala males mandi. Iya.
Ya sudah! Ini apa-apaan malah bahas persoalan mandi. Back to topic tentang pendakian ke Gunung Pundak. Tapi sebelumnya sobat traveler tahu nggak apa itu pendakian? Hahaha masa nggak tahu sih? Jadi gini loh, pendakian itu adalah proses membekunya debu-debu yang menempel di kulit akibat jarang mandi. Mandinya 3 hari sekali. Karena kalau 3 kali sehari itu minum obat. Bukan mandi. Doh.. Ini kenapa bahas mandi lagi sih, Nyet?!
Oke sekarang serius! Suer!
Aku waktu itu mendaki berombongan enam orang. Keseluruhannya pendaki newbie yang masih minim pengalaman. Ilmu pengetahuan mendaki gunungnya juga masih cetek. Parahnya, Gunung Pundak adalah destinasi dadakan setelah dua jam sebelumnya batal ke Pulau Gili Labak Madura karena kekurangan budget.
Dari pada gagal piknik sama sekali, aku usul naik ke Gunung Pundak. Eh semua pada setuju. Ya sudah, nggak pake lama aku langsung cari-cari informasi tentang pendakian Gunung Pundak. Tentang jalur pendakiannya, estimasi waktu dan biayanya. Dan dari info yang kudapat, semuanya masih terjangkau. Jadilah kami berenam berangkat dari Surabaya jam 20.00, tiga motor masing-masing berboncengan.
Itulah profil keenam pendaki tersebut. Sebenarnya selain nanjak ke Gunung Pundak ini, kami sudah sering banget terlibat kegiatan ngetrip bareng. Baiklah, aku kenalin satu persatu berurutan dari kiri ke kanan.
Paling kiri, mengenakan kupluk abu-abu dengan tangan menyusup ke saku berharap ada duit terselip itu, namanya Rio. Orangnya kalem dan murah senyum. Setiap mau berangkat travelling, dia yang bertugas memimpin do’a. Kalau kebetulan ngetrip pakai mobil, Rio adalah driver tangguh yang bisa diandalkan. Dia tahan semaleman duduk dibalik stir. Sementara yang lain enak-enakan tidur.
Selanjutnya, yang memakai kupluk biru dan jaket biru sedang menghisap rokok Istana. Dia namanya Seger. Jiwa kesetiakawanannya nggak perlu diragukan. Dia rela meninggalkan berbagai urusan pribadinya demi ikut ngetrip bersama. Saat travelling Seger lebih banyak bertugas sebagai tukang poto.
Singlet putih dengan tas slempangan namanya Eko. Dia agak pendiam. Ketika yang lain sibuk berfoto-foto narsis, dia memilih diam khusyuk menikmati pemandangan alam. Kalau pun sekali dua kali mengambil gambar, objek fotonya adalah alam. Doski emang pecinta alam tulen. Lihat saja di foto itu, dia membawa kantong berisi sampah dari puncak untuk dibuang di tempat semestinya.
Berikutnya, menggendong keril kuning, tanpa baju tanpa handuk, namanya Aripin. Tapi kami memanggilnya Kapten Aripin. Soalnya beliau adalah kepala suku di tim kami. Dia yang suka memprovokasi kami untuk ngetrip ke sana, ke sini, ke mana-mana. Dia yang menyusun jadwal dan menghitung biaya. Meski begitu dia orangnya gokil suka becanda.
Nah, yang pasang ear phone dan berkaca mata riben hitam itu namanya Eko juga. Pasaran banget ya nama Eko. Dalam group ini aja dua. Tapi dia lengkapnya Eko Hadi Susilo. Jam terbang jalan-jalannya sudah level internasional. Sudah pernah ke Malaysia dan Taiwan, walau sambil jadi TKI. Dan dia orangnya dermawan banget. Misalnya pas lagi ngetrip uang iuaran kami habis, dia rela mengeluarkan uang pribadi untuk menutupi kekurangan.
Dan terakhir yang paling depan, mengenakan topi hijau dengan jaket yang disponsori oleh Honda, menggendong tas ransel SD bukannya tas carrier mendaki gunung, itu adalah gue sendiri, big bos blog ZUCKICI.COM. Dalam setiap ngetrip, aku cuma jadi anak bawang sih. Selebihnya silakan dinilai sendiri.
Namanya juga pendaki karbitan, jadi silakan diketawain penampilan kami yang tidak mencerminkan seorang pendaki gunung yang patut diteladani itu. Kami naik gunung biar jadi pendaki. Soalnya kalau naik panggung sambil nyanyi-nyanyi itu pendangdut.
Tengah malam kami sampai desa Claket. Karena kami naik via jalur Puthuk Siwur, kami berhenti di pos perizinan Puthuk Siwur. Sementara pendaki-pendaki lain yang mau naik lewat pintu masuk Taman Hutan Raya (Tahura), terus melanjutkan perjalanan.
Di pos itu kami mengurus perizinan dan membayar biaya restribusi. Harga tiket masuk dan pendakian ke Gunung Pundak adalah Rp 10.000 per orang. Sementara biaya parkirnya Rp. 5000.
Sebelum lanjut ke cerita pendakiannya, kenalan dulu ya sama Gunung Pundak.
Tinggi Gunung Pundak berkisar 1.585 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung ini sebenarnya cuma salah satu punggungan dari beberapa punggungan Gunung Welirang 3.156 Mdpl. Itu juga yang menjadi asal usul gunung ini diberi nama Gunung Pundak. Letaknya yang tepat di bawah Gn. Welirang, membuatnya disebut bahu alias pundak-nya Gunung Welirang, sehingga dinamakan Gunung Pundak. Seperti itu.
Trek Gunung Pundak masih level easy. Tapi tentu mayoritas menanjak, namanya juga naik gunung. Petunjuk-petunjuk arahnya terpampang jelas berwarna orange. Via Puthuk Siwur tidak banyak jalur bercabang, sehingga para pendaki aman dari bahaya tersesat. Suhunya juga nggak dingin-dingin banget, level ‘masih bisa tidur walau nggak pakai sleeping bag’. Dan maaf bukan bermaksud meremehkan, Gunung Pundak bisa dikategorikan gunung kelas melati yang cocok banget untuk pendaki pemula kayak aku begini. Sebagai ajang latihan sebelum mendaki gunung-gunung lain yang memiliki medan lebih berat.
Lokasi Gunung Pundak di desa Claket, Kecamatan Pacet, kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, NKRI. Tidak jauh dari pemandian air panas Pacet. Gunung Pundak memiliki dua jalur pendakian dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jalur lama via Tahura (Taman Hutan Raya). Dan satu lagi jalur yang baru dibuka yaitu Via Gunung Puthuk Siwur.
Kabarnya, via Tahura treknya sedikit lebih mudah. Ada tiga pos dan melewati banyak sumber air. Berbeda kalau lewat Puthuk Siwur, dari pintu masuk hingga ke puncak tidak ada pos sebiji pun, cuma ada camp-camp area. Juga tidak ada sumber air sama sekali. Jadi kalau mau naik lewat jalur ini harus membawa banyak persedian air minum biar nggak mati. Kelebihannya, jalur Puthuk Siwur memiliki lebih banyak pemandangan bagus di sepanjang jalur pendakiaannya.
Dari pos perizinan sampai ke puncak Gunung Pundak dibutuhkan waktu 2 – 3 jam. Kami waktu itu start mendaki sekitar sekitar jam 01.00 pagi. Melewati belakang rumah-rumah penduduk desa. Kemudian perkebunan warga dan hutan-hutan pinus. Setelah hutan-hutan pinus, treknya berubah berbatu dan tanjakannya mulai terjal-terjal. Sampai di situ kami mulai sering-sering istirahat karena kelelahan.
Saat istirahat duduk di bebatuan, tampak di kejauhan kota-kota bermandikan kelap-kelip jutaan lampu bagai ditaburi bintang. Sementara langit gelap tertutup mendung, kelap-kelip jutaan lampu itu membuat seolah-olah bintang-bintang telah berpindah ke bumi. Bagiku itu sudah pemandangan indaaaah banget. Lamunanku melayang jauh. Aku jadi baper dan sentimentil. Rasanya pengen memeluk seseorang. Andai saja ada dia…
PLAK! Kepalaku digetok senter sama Kapten Aripin. Soalnya tanpa sadar aku telah memeluknya.
“Matamu lapo’o koen ngerangkul-ngerangkul aku coeg?!” gitu kata Aripin pakai bahasa Jawa bercengkok Surabaya, yang artinya ‘Zuki kamu keren banget’.
Lanjut!
Singkat cerita, sekitar jam 04.30 kami sudah di puncak, meski belum benar-benar sampai di titik lokasi yang dipasangin bendera merah putih dan plakat penanda 1.585 mdpl. Di sekitar kami banyak tenda-tenda pendaki-pendaki lain. Awalnya kami juga mau pasang tenda di situ tapi nggak jadi. Tanggung. Nanti saja di areal dekat bendera. Akhirnya kami hanya duduk-duduk selonjoran. Yang Islam taat kemudian pada sholat Shubuh, sementara yang Islam E-KTP tetep selonjoran melupakan kewajiban 5 waktu.
Saat kawasan puncak Gunung Pundak semakin terang, di kejauhan tampak Gunung Penanggungan 1.653 Mdpl begitu menggoda untuk didaki. Semoga di lain kesempatan aku bisa ke sana. Kami lanjutkan dulu pendakian Gunung Pundak yang belum tuntas ini. Kami bergerak lagi. Tiga menit kemudian akhirnya kami sampai juga di batas tertinggi Gunung Pundak, ditandai dengan adanya patok dengan papan bertuliskan MT. PUNDAK 1585 mdpl, serta bendera Merah Putih yang berkibar gagah tertiup angin pagi. Alhamdulillah.
Kabut datang dan pergi sesukanya menyelimuti puncak dan sekitarnya. Puncak Gunung Pundak didominasi padang ilalang dan semak belukar. Di depan kami Gunung Welirang berdiri gagah lebih tinggi. Kami pun berfoto-foto mengabadikan semua itu.
Puas berfoto-foto, kami kemudian bergotong royong memasang tenda. Sebiji tenda usang berkapasitas 4 orang, tapi pemasangannya dikeroyok oleh 6 orang, jangan heran kalau dalam tempo semenit saja tenda sudah selesai dipasang dan siap huni. Kami beserta tas masing-masing segera memasuki tenda.
Suasana dalam tenda begitu memprihatinkan. Bayangkan saja, enam manusia menempati tenda ukuran empat orang, ditambah tumpukan barang bawaan masing-masing? Saat itu sebenarnya kami lebih mirip pengungsi korban perang ketimbang sekelompok pendaki gunung. Asli. Tapi karena letih menempuh perjalanan dan mengantuk berat akibat nggak tidur semalaman, kami ber-6 tertidur dalam posisi berdempet-dempetan kayak ikan tongkol di lapak-lapak pedagang pasar. Dan tidurnya bener-bener tidur yang pules banget.
Jelang sholat dzuhur kami terbangun satu persatu. Setelah dzuhuran, kami beredar di sekitar puncak untuk pemotretan sesi kedua. Cacing-cacing dalam perut mulai rusuh, berdemonstrasi menuntut asupan barang sesuap nasi. Kami semua kelaparan. Sementara kami tidak membawa logistik makanan. Mau minta makanan sama pendaki-pendaki lain jelas nggak berani. Takut mereka tahu kalau kami cuma pendaki abal-abal yang mendaki cuma modal nekat tanpa perlengkapan dan persiapan yang matang. Mau survival makan alang-alang juga ntar dikira malah merusak alam. Hahaha.
Yasudah, akhirnya kami membongkar tenda dan beranjak turun gunung. Koplak memang. Jauh-jauh mendaki gunung hanya untuk numpang tidur siang.
Perjalanan turun Gunung Pundak cukup menyenangkan. Pemandangan-pemandangan indah yang tadi malam tak terlihat karena gelap, siang itu terekspos nyata. Sepertinya memang benar, pendakian Gunung Pundak via jalur Puthuk Siwur pemandangannya bagus-bagus dan banyak spot foto yang keren-keren. Hutan-hutan pinus, batu-batu raksasa, terus ada batu-batu yang bertumpuk dalam satu tempat menjadi bukit batu. Dan ada salah satu bukit batu yang begitu Instagramable, dengan panorama perkampungan di bawahnya. Sayangnya kami sudah begitu lelah. Langit juga tiba-tiba mendung.
Kabarnya di sekitar hutan pinus juga ada gardu pandang yang bisa digunakan untuk panggung narsis, tapi entah di sebelah mana kami sudah tidak ada waktu lagi mencarinya. Ada juga keterangan Goa Bebek, tapi di mana goanya masih menjadi misteri Gunung Pundak. Bahkan puncak Puthuk Siwurnya sendiri tak sempat kami singgahi.
Cacing-cacing dalam perut sudah mulai anarkis. Yang tadinya cuma keroncongan sudah berubah koploan. Langit juga semakin gelap tertutup mendung. Kondisi perut dan cuaca begitu mendukung kami untuk segera kembali ke pos perizinan. Sampai jumpa lagi Gunung Pundak.
Seperti itulah cerita pengalamanku mendaki Gunung Pundak bersama para sahabat. Barangkali dari stori ini teman-teman jadi tertarik menjajal gunung bertinggi cuma 1585 mdpl tersebut. Happy Trekking.
Seperti itulah cerita pengalamanku mendaki Gunung Pundak bersama para sahabat. Barangkali dari stori ini teman-teman jadi tertarik menjajal gunung bertinggi cuma 1585 mdpl tersebut. Happy Trekking.
4 komentar untuk "Ekspedisi Gokil ke Gunung Pundak 1585 Mdpl Via Puthuk Siwur"
seruh pisan nyak, kayanya bulan agustus tahun ini berencana mau ngibarin bendera merah putih di gunung pundak aja ah
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.