Zuck Linn #12: Acara Teleponan
Sebelumnya Zuck Linn #11: Rasa Itu
#12 Acara Teleponan
Sehabis makan sekenyangnya, Linn kembali ke kamar. Hal pertama yang ia lakukan setibanya di kamar adalah cek ponsel. Ada dua pesan WA, dua-duanya dari Rein.
'Udah kayak koran aja, cuma dibaca.'
'Jangan bilang kamu orangnya nggak dendaman. Biar yang Tuhan saja yang membalasnya. Basi!'
'Enggaklah, Rein. Bagiku Tuhan itu bukan sekertaris.' Balas Linn sok bijak dengan diakhiri sebuah emoticon senyum.
Rein tak membalas lagi. Mungkin marah entah kehabisan paket data Linn tak mau ikut campur urusan orang. Ia sibuk memasang headset, supaya nanti saat Zuck menelepon, suaranya bisa terdengar dekat kayak orang dibimbing baca syahadat.
Dan, telepon yang ditunggu-tunggu itupun tiba. Linn melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya, kemudian tertawa sendiri. "Halo, Mas. Bener kata kamu tadi, orang Indonesia suka nggak tepat waktu. Janjinya 20 menit mau menelepon, ini baru 19 menit udah telepon lagi masa?"
Di seberang sana Zuck tertawa renyah. "Itu saking udah nggak sabarnya pengen dengar jawaban kamu, Allina. Gimana?"
Linn bingung harus berkata apa. Kalau menuruti kata hati, ia sebenarnya tinggal menjawab 'iya'. Ia sudah jatuh cinta kepada Zuck sejak pandangan kedua di toko kosong. Pada pandangan pertama Linn mengira Zuck hanyalah genk pengemis. Dan rasa itu semakin kuat setelah mengenal Zuck lebih dekat beberapa hari ini.
Tapi logikanya menyuruh pikir-pikir dulu. Menerima seseorang yang benar-benar dicinta, akan mengakibatkan perih yang mendalam jika suatu saat ditinggalkan. Beda saat menerima Evan dulu, cowok yang tidak sungguh-sungguh Linn sukai, sehingga ketika Evan pergi, perih yang ditinggalkan pun hanya perih yang sepele selevel mata kemasukan busa sabun sirih.
Sementara dengan Zuck, Linn merasa peluang untuk ditinggalkan cukup terbuka. Seperti kata Yonah, selera Zuck adalah wanita-wanita matang. Linn yang masih tiga SMA, jelas merasa diri jauh di luar kriteria. Ditambah saat ini Zuck masih dalam duka berkepanjangan setelah dicampakan Wanda. Bukan tidak mungkin, Zuck hanya ingin mengalihkan kegalauan dengan cara mendekatinya.
Tok! Tok! Tik! Tok! Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu kamar. Lamunan Linn buyar.
"Emm... Aku bingung, Mas."
"Tinggal jawab 'iya' aja kok bingung sih? Gini aja deh, kamu ngitung kaki meja, diawali dari 'enggak'?"
Tok! Tok! Tok! Ketukan itu terdengar lagi, kali ini dibarengi panggilan: "Mbak Linna!"
"Iyaa!" sahut Linn cepat, lantas bergerak menuju pintu.
"Iya?!" di telepon, suara Zuck terdengar menggebu-gebu bahagia. "Kamu nerima aku! Yess! Aku seneng banget!"
"Eh bukan, tunggu, duh..." Linn gelagapan.
"Makasih ya, Alinna, Sayang. Akhirnya..."
"Aduuuh... Apaan sih? Itu barusan Linn menjawab panggilan pembantu, bukan buat kamu!"
"Yaah..." suara Zuck langsung melemah.
Linn membuka pintu kamar. "Aku ingin kamu ngomong langsung, biar aku yakin sama keseriusanmu jadi pacar aku."
"Saya harus ngomong apa, Mbak? Saya masih normal," kata Mbak Uci, pembantu rumah Linn itu terbengong di depan pintu.
"Astagaaa! Kenapa orang-orang pada error semua gini sih?" Linn mengacungkan cakarnya di depan wajah. Geregetan! "Saya lagi ngomong sama orang di telepon ini, Mbak Uci gak usah kegeeran! Huh!"
Dengan sebal Linn menutup pintu dan melangkah gontai berniat kembali ke ranjang. Tapi baru tiga setengah langkah, tiba-tiba Linn tersadar ada sesuatu yang salah. Buru-buru ia kembali membuka pintu. Beruntung Mbak Uci masih setia di sana.
"Ada apa, Mbak, tadi manggillin aku?"
"Mbak Linn lagi ngomong sama saya apa sama yang di telepon?" Daripada mengulangi kesalahan yang sama, Mbak Uci memastikan terlebih dahulu.
"Kali ini buat kamu, Uci, hehe..." Linn baru ngeh, ia ngobrol dengan Zuck menggunakan headset. Wajar kalau Mbak Uci tadi sempat salah paham.
"Ada temennya Mbak Linn tuh di bawah."
"Siapa?"
"Enggak tau, Mbak. Orangnya ganteng. Saya malu mau kenalan, mhihihi."
"Bilangin Linn sudah tidur, nggak pengen diganggu."
"Katanya cuma sebentar. Tadi juga udah saya bilang Mbak Linn-nya tidur. Eh, dia maksa."
Didengar dari ciri-cirinya, Linn menduga itu pasti Rein. Ngeyel banget itu anak. Udah dibilangin jangan ke sini juga.
"Temuin aja dulu, kasian dia udah capek-capek datang," Zuck memberi dukungan lewat telepon.
"Tapi Linn lebih kasian sama kamu yang udah capek-capek nelpon."
"Nanti kan bisa disambung lagi," ujar Zuck yang merasa tidak butuh belas kasihan. Yang ia butuhkan adalah belas kasih sayang.
"Bener, ya, nanti teleponan lagi?"
"Iya. Nanti kamu kuberi kesempatan giliran nelpon."
"Dih! Perhitungannya."
"Bukan perhitungan, hanya emansipasi, hehe..."
"Yaudah kalau begitu matiin."
"Kamu dong yang matiin. Kan kamu yang kutelepon."
"Kamu aja. Kan kamu cowok."
"Kamu aja deh. Aku nggak tega."
"Mas saja lah yang matiin."
"Ayo dong, Linn, matiin."
Tak juga ada yang mau mengalah. Akhirnya dua-duanya sama-sama diam. Dalam diam itu Linn malah asyik ngupil, kemudian meper-meperin upilnya ke daun pintu, padahal durasi telepon terus berjalan. "Iih... Kok belum dimatiin-matiin juga sih, Mas?" rengek Linn manja.
"Linn, sumpah ini jijik! Kayak anak alay lagi LDR. Udah cepet matiin."
"Kamu dong yang matiin."
"Kamu aja yang matiin kenapa sih?! Bandel." Zuck mulai meradang.
"Gak mau! Aku maunya yang matiin tuh kamu, Mas. Kamu. Iya, kamu!" balas Linn jengkel banget kemudian langsung mematikan telepon saking jengkelnya.
"Yaudah, Mbak. Tamu itu biar saya yang tanganin," kata Linn setelah kejengkelannya mereda.
Mbak Uci, yang sedari tadi sabar menunggu putri majikannya itu tersenyum, lalu pergi ke dapur mau merebus ubi.
Linn kembali masuk kamar untuk sedikit berdandan. Tapi niat itu langsung Linn cancel, mengingat yang datang cuma Rein. Tidak penting. Kalau perlu dandan yang jelek jelita, biar Rein ilfil dan biar besok-besok tidak menguber-ubernya lagi. Linn tersenyum sendiri membayangkan ide gokilnya itu.
Maka Linn pun mengganti bajunya dengan daster putih milik Uci. Rambutnya diacak-acak sampai semrawut parah mirip musuhnya Raden Kian Santang. Dan terakhir berkaca untuk mengecek penampilannya.
"Astagfirullah! Hwoaaa..." teriak Linn berlari ke sudut kamar. Ia tersentak dengan bayangannya sendiri di cermin. Nyaris saja tadi membacakan ayat-ayat suci pengusir setan.
--~=00=~--
Selanjutnya Zuck Linn #13: Tamu Malam Minggu
1 komentar untuk "Zuck Linn #12: Acara Teleponan"
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.