Zuck Linn #15: Malam Penembakkan
Sebelumnya Zuck Linn #14: Mengejar Kepastian
#15 Malam Penembakkan
Matahari baru saja terbenam di balik gedung-gedung pencakar langit. Suasana sudah mulai remang-remang. Zuck yang sedang mempersiapkan diri untuk bertemu Linn, disambangi Jabon yang petang itu penampilannya terlihat lebih necis dibanding biasanya.
"Aku mau keluar. Ntar lagi aja kita ketemu sambil nonton derby Manchester," kata Zuck tanpa bermaksud mengusir.
"Aku ke sini juga cuma bentar kok. Abis ini mau ke rumah Nivi," jelas Jabon.
"Jadi kemari buat nyari alasan lagi?" tanya Zuck tanpa melihat lawan bicaranya. Ia sibuk menatap cermin menata rambutnya.
"Enggaklah. Aku mau minta do'a restumu, Zuck. Malam ini aku mau nembak Nivi."
Zuck menatap Jabon sedikit tak percaya. Jabon mengangguk-angguk, isyarat bahwa ucapannya tadi tidak main-main.
"Aku restui, Bon. Semoga berhasil," ucap Zuck menepuk-nepuk bahu Jabon. "Aku juga mau keluar karena mau jadian sama anak SMA, temen adikku. Namanya Alinna."
"Hah?! Kok tumben doyan anak SMA?"
"Abis gimana, biarpun masih SMA, dia udah cantik, ada lesung pipinya."
"Semoga keterima," doa Jabon sambil gantian menepuk-nepuk bahu Zuck penuh semangat.
"Jangan kenceng-kenceng! Sakit bego!" hardik Zuck menoyor jidat Jabon. Pundaknya terasa sengkleh.
Jabon hanya cengengesan sambil mengusap-usap keningnya.
"Kalau aku pasti diterima. Soalnya aku sama dia udah deket banget. Malam ini tinggal penerimaan aja," sambung Zuck sambil tersenyum dan mengangkat-angkat alis kepada sosok ganteng banget di dalam cermin.
"Ikut senang dengernya."
"Semoga ntar aku juga dapat kabar bahagia tentang kamu sama Nivi."
Jabon tersenyum malu-malu kucing garong. "Terima kasih. Nanti kalau Nivi nerima aku, jangan lupa makan-makannya ya, Zuck?"
"Woey kebalik!" hardik Zuck bersiap menoyor Jabon sekali lagi, namun calon korbannya itu sudah lebih dulu kabur pulang.
Setelah kondisi aman, Jabon datang lagi. "Tadi sore aku ketemu Dade."
"Dia udah pulang dari Jakarta?"
"Udah. Sekarang dia pindah kerja di sini. Tadi juga sempat ngomongin untuk kembali menghidupkan Gebrak band."
Zuck memandang Jabon dengan raut antusias. "Serius? Wah aku setuju banget, Bon. Udah kangen manggung lagi."
Gebrak adalah band mereka semasa SMA tapi sudah lama vakum. Terakhir kali perform dua tahun silam saat perpisahan sekolah. Setelah itu para personilnya masing-masing sibuk bersolo karir.
Jabon, yang menempati posisi gitar, sibuk merintis usaha pangkas rambut. Dade sang bassit, sempat bekerja di ibukota Indonesia. Woko yang juga memegang gitar, sibuk ke sana ke mari mencari kebenaran. Sementara Zuck yang dapat jatah tukang gebuk drum, selain kuliah, juga sibuk latihan bola dan melupakan mantan. Satu lagi, Beno sang vokalis, sedang kuliah di Malaysia dan sudah mengundurkan diri.
Andai saja sedang tidak ada keperluan dengan gebetan masing-masing, Zuck dan Jabon sangat ingin membahas Gebrack Band lebih banyak lagi.
--~=00=~--
Taman Kota merupakan tempat favorit merayakan malam minggu bagi kawula muda Pekanbaru. Pada malam minggu tempat itu tidak pernah tidak ramai. Ada saja muda-mudi duduk-duduk di bangku taman atau sekedar bermain-main ayunan.
Di salah satu bangku, tampak Zuck yang sudah hampir setengah jam duduk gelisah seorang diri menanti Linn. Jam sudah menunjukkan pukul 20.01. Artinya sudah meleset semenit dari waktu yang telah disepakati, namun Linn tak kunjung nongol.
Ketidaksabaran Zuck mencapai batasnya ketika jam menunjukkan angka 20.02. Diteleponnya Linn menggunakan ponsel pribadinya.
"Tamannya udah ramai nih, Linn. Yang lain udah pada datang. Kamu kenapa belum?" tanya Zuck begitu Linn menjawab teleponnya.
"Aku nggak jadi, Mas. Maaf," jawab Linn pelan dan hati-hati.
"Apa?! Nggak jadi?! Maksud kamu? Kenapa?! Serius?! Hah?!" Zuck yang kaget dengan jawaban Linn langsung melempar pertanyaan bertubi-tubi.
"Orang tuaku nggak di rumah. Mbak Uci juga lagi liburan ke desa. Di rumah nggak ada siapa-siapa."
Zuck berusaha meredam emosi. "Kalau begitu aku yang ke sana!"
"Ih nggak usah. Mau ngapain coba?"
"Nemenin kamu. Sekalian magang jadi menantu orang tuamu."
"Aku udah bilang kan, Mas, di rumah nggak ada siapa-siapa. Berarti aku juga nggak ada."
"Ke mana?"
"Ikut papa sama mama."
"Ke mana?!" desak Zuck melontarkan pertanyaan yang sama.
"Eng..." Linn terdengar sulit berkata-kata. "Menghadiri acara... Acara... pemakaman! Iya, acara pemakaman. Ada pejabat negara temennya papa meninggal."
Malam minggu cerah begini ada orang meninggal? Batin Zuck tak percaya. "Bohong banget. Pejabat negara meninggal masa nggak keluar di berita?"
"Acara layatnya tertutup, Mas. Pers dilarang meliput."
Zuck menduga, Linn tadi salah gosok gigi memakai salep cap kaki tiga, sehingga bahasanya ngelantur persis orang terkena demam tinggi.
"Jujur aja kenapa kalau nggak mau nemuin aku? Nggak usah beralasan yang enggak-enggak!"
Linn diam saja.
"Yaudah terserah kalau nggak jadi datang, tapi gimana dengan jawaban kamu?"
Linn masih tak bersuara. Zuck akhirnya ikut tak bersuara. Hingga beberapa saat keduanya sama-sama membisu.
"Dor!" Zuck coba memecah kebisuan dengan menyanyikan potongan lagu Balonku ada 5.
"Enggak, Mas. Aku nggak bisa menerimamu. Maaf... Maaf banget, ya..." jawab Linn sesopan mungkin.
"Kok jadi begini sih?! Hah?!" sentak Zuck tidak terima Linn tidak menerimanya. Padahal sejak kemarin ia sudah sangat yakin Linn akan berhasil dipacarinya tanpa kesulitan berarti.
Di seberang lain, Linn kembali diam tidak memberi keterangan lebih lanjut.
Zuck memindahkan handphone ke tangan kiri. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya percuma tadi setengah jam menata rambut. Sampai bela-belain berangkat tak memakai helm demi menjaga rambutnya agar tidak berubah dari tatanannya.
"Yaudah, nggak apa-apa kalau kamu nggak mau jadi pacar aku, biar aku aja yang jadi pacar kamu. Ya?" pinta Zuck tak ingin menyerah begitu saja.
Linn masih bungkam.
"Kenapa? Aku terlalu baik? Mau serius sekolah? Lebih cocok temenan? Basi! Kayak alasan anak alay di luar sana!" Zuck nyerocos sendiri kayak orang kerasukan. Ia benar-benar terpukul menerima kenyataan yang sungguh berbeda dari impian-impiannya beberapa hari ini.
"Aku udah kelas 3, Mas. Bentar lagi UN. Iya, aku mau serius sekolah."
"Tapi kan...
"Tapi apa? Mau bilang pacarannya pas hari libur aja. Pas tanggal merah gitu?" penggal Linn sok tahu dengan pikiran Zuck. "Kalender di rumahku fotocopy-an, gak ada tanggal merahnya."
"Linn, bisa nggak becandanya nanti aja setelah kita jadian?" pinta Zuck memelas. Kali ini suaranya terdengar mulai putus asa.
"Ini serius. Aku lagi nggak pengen punya pacar. Ntar ganggu sekolah."
"Pacarannya tiap malam minggu aja, kan paginya nggak sekolah? Hari-hari biasa kita kakak adikkan," paksa Zuck garing.
"Sudahlah, Mas. Nggak usah kakak-adikkan. Kita Mas adik-an aja."
"Aku benar-benar nggak percaya kamu nolak aku gini?" ucap Zuck lirih nyaris tak terdengar. Ia sudah kehilangan harapan.
"Percaya gak percaya, Mas, harus percaya."
"Makanya ke sini, ngomong langsung, biar aku percaya kalau kamu serius nolak aku. Jangan beraninya cuma lewat telepon. Gak jantan!" Zuck langsung mematikan telepon dan meletakkan secara serampangan di bangku taman. Ia berharap Linn akan menelepon balik.
1 menit, 2 menit, 3 menit, belum juga ada telepon masuk. Memasuki menit ke-57, akhirnya dering nada panggilan yang ditunggu-tunggu itu berbunyi. Zuck terlonjak. Buru-buru diraihnya ponselnya. Tapi ternyata pelaku pemanggilan bukan Linn!
"Halo, Bon," kata Zuck dengan suara lesu.
"Zuck, ntar derby Manchester nonton di mana?"
"Di tempat biasa aja. Valanta Cafe."
"Kamu udah di sana?"
"Belum. Aku masih di taman."
"Oh sama cewek SMA yang kamu ceritain tadi?"
"Enggak. Aku sendirian. Dia nggak dateng. Dia nolak aku!"
"Kok bisa? Kamu bilang tadi tinggal penerimaan?"
"Ternyata dia tukang PHP, Bon. Aku terluka," curhat Zuck begitu menyedihkan. "Kamu sendiri gimana sama Nivi?"
"Tau ah. Udah males ngarepin dia. Mulai sekarang aku mau serius sama karir aja."
"Karir yang saudara kembarnya Karin?" tanya Zuck sedapatnya.
"Iya. Anaknya Kadir!" jawab Jabon juga sesukanya.
Dari nada bicaranya, Zuck tahu Jabon juga tidak mendapat hasil yang bagus. Ia pasti ditolak Nivi! Zuck bingung, antara harus sedih atau justru senang, teman baiknya juga mengalami nasib yang serupa.
"Tunggu, ya, aku ke situ. Trus ntar ke Valanta barengan."
"Sip. Buruan."
--~=00=~--
Selanjutnya Zuck Linn #16: Untung Ada Nivi
3 komentar untuk "Zuck Linn #15: Malam Penembakkan"
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.