Zuck Linn #30: Putus!
#30 Putus!
Andalas Cafe malam minggu ini terlihat lebih ramai dibanding malam minggu yang sudah-sudah. Pasalnya akan ada penampilan salah satu komika dari pusat. Meskipun bukan komika ternama, tapi para penggemar Stand up Comedy tetap antusias menyambut penampilannya.
Termasuk Yonah dan Dewik, mereka sudah setengah jam menunggu dan tak sabar ingin tertawa. Akhirnya mereka berdua pergi nonton, meski tanpa Linn.
Tapi mendadak raut wajah Yonah berubah.
"Benar dugaan kamu, Wik, dia nyembunyiin sesuatu dari kita," Yonah bergumam.
"Maksud kamu Linn?"
"Iya. Lihat, ternyata dia pergi, sama Rein," lewat bola matanya Yonah menunjuk ke arah belakang Dewik.
Dewik menoleh hati-hati. Ia melihat Rein dan Linn yang baru saja tiba memilih tempat duduk nomor 18.
"Kenapa dia harus membohongi kita kayak gini? Kalau dia jujur mau pergi sama Rein, toh kita bakal ngerti," ucap Yonah lirih. Suaranya terdengar sedih.
"Pasti ada rahasia yang dia tidak ingin kita tau," balas Dewik juga lirih. Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari tas.
"Di mana-mana yang namanya rahasia ya kayak gitu, Wik." semprot Yonah pelan.
Beberapa meter dari mereka, Rein dan Linn sedang duduk berhadapan.
"Aku seneng akhirnya bisa jalan sama kamu," ujar Rein.
Linn tersenyum tipis. "Gimana sih ceritanya band anti pacaran?"
"Sabar dong, Linn. Ntar pasti aku ceritain kok."
"Tapi aku penasarannya udah dari tadi."
"Iya, iya. Tapi nonton stand up dulu."
Linn tak menanggapi. Selain sedikit kesal karena Rein masih menunda-nunda ceritanya, Linn juga sedang membaca pesan dari Zuck.
'Sayang aku minta maaf atas kejadian tadi pagi. Aku menyesal. Sekarang aku mau ke rumah kamu.'
Telat! Jam segini baru mau datang? Kenapa nggak sekalian nanti aja pada sepertiga malam?! Batin Linn marah. Pesan itu hanya dibacanya.
"Ternyata band anti pacaran kayak yang kamu bilang tadi siang beneran ada," kata Rein. Melihat Linn mulai cuek dan lebih mementingkan ponselnya, akhirnya Rein mengalah dengan mulai bercerita perihal band anti pacaran yang Linn inginkan.
'Masih marah sama aku?'
Zuck kirim pesan lagi. Tapi Linn tetap belum ingin membalas. Perhatiannya sedang tertuju kepada Rein yang mulai bercerita tentang band anti pacaran.
"Aku sendiri hampir nggak percaya ada band punya prinsip seperti itu," lanjut Rein.
"Trus tau-nya kalau beneran ada?"
"Tadi sore, ada tetanggaku anak band juga, nawarin aku masuk band-nya. Tadinya aku mau banget. Aku suka Band-nya. Namanya Gebrack Band. Tapi akhirnya aku nggak mau. Ya itu tadi, masa ada peraturan personilnya dilarang punya pacar, terus setiap malam minggu semua personil wajib berkumpul."
"Namanya Gebrack Band?" Linn ingin memperjelas.
"Iya. Gebrack Band."
Tidak salah lagi, itu band-nya Zuck selama ini. Berarti yang Zuck katakan tidak bohong.
Di saat yang berbarengan Linn kembali mendapat pesan dari Zuck.
'Mulai malam minggu ini, aku akan selalu siap malam mingguin kamu. Peraturan band yang ngelarang pacaran itu udah dihapus'
"Rein kita pulang yuk," ajak Linn tiba-tiba. Ia gelisah dan merasa bersalah.
"Kenapa? Stand up-nya aja belum mulai?" Rein kaget terheran-heran.
Linn terdiam bingung. Jujur kepada Zuck agar tak usah datang, karena ia sedang di kafe bersama Rein, hanya akan membuat Zuck kembali marah. Bahkan mungkin akan membuatnya semakin yakin dengan tuduhannya tadi pagi. Sementara memaksa mengajak Rein pulang, Linn juga merasa tak enak hati.
'Aku ngantuk, Mas. Pengen tidur,' balas Linn terpaksa berbohong. Linn tidak menemukan ide lain selain itu.
Zuck tak membalas lagi. Mungkin kecewa atau bahkan marah, batin Linn. Dadanya dipenuhi perasaan bersalah yang membuat sesak, juga membuatnya tidak fokus sepanjang pertunjukkan. Pononton tertawa, ia ikut tertawa. Yang lain tepuk tangan, Linn ikut tepuk tangan. Padahal entah letak lucunya di sebelah mana. Pikirannya terus tertuju pada Zuck.
'Kamu beneran di rumah?'
Setengah jam kemudian Zuck baru kirim pesan lagi. Linn terlonjak girang. Meskipun telat, tapi itu membuat perasaannya lega. Cepat-cepat Linn membalas pesan lelaki tersayangnya itu.
'Iya. Ngantuk banget. Besok aja ya kita ketemu. Aku mau ketiduran,' balas Linn sambil mengajak bercanda.
'Kamu nanya balik dong aku lagi di mana dengan siapa semalam berbuat apa?'
'Hehe. Kamu lagi di mana, Mas? Ngapain?'
'Di deket pintu masuk Andalas Cafe. Lagi ngeliatin kamu.'
Linn terkesiap membaca balasan pesan itu. Jantungnya berdegup di atas normal seakan mau copot. Dan wajahnya langsung pucat pasi begitu menoleh ke arah pintu. Di sana ada Zuck, berdiri terpaku dengan tatapan seperti mata banteng melihat sempak merah yang sengaja dikibar-kibarkan.
Di meja lain, Yonah juga kaget saat tanpa sengaja melihat Zuck ada di cafe. Tampak olehnya Zuck berjalan mendatangi tempat duduk Linn dan Rein. Dari kejauhan, Yonah melihat Linn juga kaget dengan kehadiran Zuck. Lalu mereka terlihat berbicara dengan gestur yang tak harmonis. Rein terlihat hanya bengong. Setelah itu Zuck buru-buru keluar. Linn berlari mengejar. Rein bertambah bengong.
"Sebenarnya ada apa dengan semua ini?" desah Yonah dengan wajah sangat tidak mengerti.
Dewik mengangkat bahu. Tidak tahu atau entah tidak mau tahu. Yonah beranjak keluar ingin mengetahui apa gerangan yang sebenarnya terjadi. Disusul Dewik. Rein juga ikut menyusul tak lama kemudian.
--~=00=~--
"Jadi ini penyebab aku nggak boleh ke rumah kamu? Alasannya ngantuk, pengen tidur, padahal kelayapan?!" kata Zuck sesampainya di luar kafe.
"Maafin aku," pinta Linn terbata-bata.
"Aku bekerja keras demi karir bermusikku, kamu malah asyik jalan sama cowok lain?" Zuck geleng-geleng kepala. "Ada-ada saja."
"Baru sekali ini, Mas."
"Yang ketahuan kan?"
"Demi Tuhan. Lagi pula aku sama Rein nggak ada apa-apa. Dia udah kuanggap seperti pamanku sendiri," Linn berusaha menjelaskan semampunya.
"Aku udah nggak percaya lagi sama kamu!" tandas Zuck dengan nada tinggi. Setelah mengibaskan tangan, ia bergegas pergi.
"Mas," Linn berusaha mencegah, tapi Zuck sudah terlanjur marah.
Perasaan Linn semakin tak karu-karuan, melihat Rein, Yonah dan Dewik sudah ada parkiran menonton perselisihannya dengan Zuck barusan. Pikiran Linn buntu. Tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya kepada mereka.
"Coba sejak awal kamu jujur sudah punya pacar, aku pasti nggak akan berharap lebih sama kamu," ucap Rein sambil berlalu. Hatinya benar-benar rusak karena ternyata selama ini Linn hanya menganggapnya sebagai paman.
"Dasar munafik!" kata Yonah tepat di hadapan Linn. Beberapa saat dipandanginya Linn dengan sorot penuh benci, setelah itu pergi tanpa mau menoleh lagi.
Dewik yang hanya diam tak mau terlibat lebih jauh, akhirnya juga pergi mengikuti Yonah.
Tinggallah Linn seorang diri. Ia benar-benar terpuruk dan merasa sepi dan begitu sengsara, seakan seluruh semesta memusuhinya. Linn tidak kuasa lagi membendung air matanya. Tangisnya pecah. Perlahan Linn bergeser dari tempat berdirinya, ia takut kakinya berdarah terinjak pecahan tangisnya.
--~=00=~--
Selanjutnya Zuck Linn #31: Siapa Scandiva?
1 komentar untuk "Zuck Linn #30: Putus!"
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.