Zuck Linn #35: Sepeda Untuk Linn 1
Sebelumnya 👉 Zuck Linn #34: Baikan
#35 Sepeda Untuk Linn 1
"Kamu kok hebat banget sih, Mas? Bisa naik RX King sambil lepas tangan gini..." bisik Linn dari boncengan, tangannya terulur ke depan meremas lembut telapak tangan kiri Zuck yang berada di atas tangki.
Sementara tangan kanan Zuck yang asyik menepuk-nepuk pahanya sendiri, langsung terhenti mendengar pujian pujaannya itu. Ia menoleh. Ditatapnya Linn lekat-lekat. Bibirnya tersenyum berusaha tegar dan sabar.
"Makasih banget, Sayang. Tapi bisa nggak sih cerdas sedikit, kita kan lagi kena lampu merah? Kita lagi berhenti! Kalau lagi mandek seperti ini, jangankan melepas tangan, melepas masa lajang juga bisa," jelas Zuck sambil jarinya menunjuk lampu lalu lintas yang sedang menyala merah, tapi dengan wajah tetap memandang Linn.
"Tapi kegantengan kamu kok nggak berhenti?" sahut Linn pilon. Beberapa saat ia balas memandang Zuck, sebelum kemudian mendongak ke traffic light. "Hijau kok. Coba deh dilihat baik-baik."
Zuck ikut mendongak ke lampu lalu lintas. "Mer...
Belum sempat Zuck menyelesaikan protesnya, dari belakang sudah riuh terdengar suara klakson dipencet-pencet tak sabar.
"Sumpah tadi warnanya merah kok. Beneran. Atau aku yang salah lihat ya?" tanya Zuck buru-buru menjalankan motor 2 tak-nya, serentak bersama puluhan pengendara lain.
"Jangan suka nyalahin diri sendiri. Nggak baik. Belum tentu kan salah lihat. Siapa tahu cuma buta warna aja," jawab Linn bijak.
Zuck tak tertarik menanggapi. Ia sedang konsen menyalib sebuah bis yang parkir sembarangan di pinggir jalan.
Sore itu, Zuck baru saja mengajak Linn jalan-jalan manasin RX King kebanggaannya. Seharian ini cuacanya mendung, jadinya Zuck nggak bisa manasin motor dengan cara dijemur kayak biasanya. Cowok ini memang garing banget. Masa manasin motor dijemur. Memangnya gabah?!
Rata-rata orang kalau manasin motor paling cuma dihidupin sambil digeber-geber alakadarnya. Tidak sekaligus dibawa jalan seperti itu. Sama juga bohong kalau begitu caranya. Mungkin Zuck mikirnya mubazir kalau motor dihidupin tapi tidak dijalankan. Pertalite-nya berkurang sia-sia.
Sayangnya, saat panas yang Zuck harapkan belum tercapai, laju motornya mendadak tersendat-sendat seperti kendaraan yang tidak lama lagi akan kehabisan bahan bakar. Malah dua meter kemudian, mesin motor benar-benar mati dengan sendirinya.
Degan gesit Zuck menarik kopling supaya motornya bisa tetap jalan walau mesin mati. Ia arahkan ke pinggir jalan supaya kematian motornya tidak mengganggu ketertiban lalu lintas.
"Kenapa lagi sih ini?" sungut Zuck dengan nada gusar. Diengkolnya kick stater berkali-kali, tapi tetap tak berhasil membuat RX King itu kembali menyala.
"Turun dulu, Sayang," seru Zuck mengetahui Linn yang masih duduk manis tanpa dosa di jok belakang.
"Turun ke mana lagi? Aku kan udah di bumi, Sayang?" tanya Linn yang yakin banget sedang tidak berada di khayangan.
"Turun berok, Beb. Huft!" repet Zuck sekuat tenaga menahan diri tidak mambanting motornya ke trotoar. "Turun dari motor lah. Memangnya mau sampai kapan nangkring di motor mogok terus? Aku mau periksa nih kenapa mati."
Linn nurut turun dari boncengan. Dikuti Zuck beberapa detik kemudian. Selanjutnya Zuck memeriksa mesin motornya.
Dan atas inisiatif sendiri, Linn ikut-ikutan mengamati sekujur body motor Zuck. Siapa tahu bisa membantu mencari tahu penyebab motor itu mati. "Mungkin tutup pentilnya kurang kenceng, Mas?"
Ada hening beberapa saat. Zuck menghela nafas lelah.
"Nutup pentil memang sebaiknya jangan kenceng-kenceng, Sayang. Nanti kamu susah napas," kata Zuck melirik jail ke dada Linn.
"Pentil motor!" seru Linn membekap mata Zuck dengan telapak tangan kirinya yang biasa dipakai untuk cebok. Walaupun Linn nggak kidal, tapi kalau cebok memang selalu menggunakan tangan kiri.
"Lagian kamu aneh. Nggak mungkin banget motor mogok gara-gara tutup pentilnya kurang kenceng. Nggak ada sangkut pautnya," tegas Zuck.
"Terus kenapa ya?"
Zuck mengangkat bahu pertanda bahwa ia juga tak tahu. Tapi kemudian raut wajahnya berubah, seperti teringat sesuatu.
"Jangan-jangan gara-gara STNK-nya nih, udah mati. Bentar aku cek!" Zuck buru-buru mengambil dompetnya yang terselip di antara perut dan bagian depan celananya.
"STNK itu apa?" Linn ingin tahu.
"STNK itu Selalu Teringat Nama Kamu."
"Hehe masa? Serius dong."
"Surat Tanda Nomor Kendaraan, Sayang," terang Zuck sambil membuka dompetnya yang tebal. Tapi begitu STNK-nya dikeluarkan, dompet itu langsung tepos!
Diamatinya lembaran STNK itu secara seksama. "Iya nih udah mati sebulan."
"Inalillahi," Linn melongo geleng-geleng. "Kenapa nggak diperpanjang sih?"
"STNK-nya yang diperpanjang?" Zuck menatap Linn dengan raut muka tak mengerti.Linn mengangguk lembut.
"Orang segini aja udah menuh-menuhi dompet. Gimana diperpanjang? Nanti nggak muat di dompetku."
Linn nyengir nggak penting. Mempertontonkan sudut bibirnya yang bertaring.
"Yaudah nggak usah diperpanjang. Cukup dengan diisi bensin, aku yakin kok, Mas, motor ini bakalan menyala lagi," kata Linn sembari mengetuk-ngetuk tangki motor Zuck yang jelas banget terdengar kopong tak berisi!
"Masa iya?" Zuck membuka tutup tangki, lalu mengintip ke dalamnya yang kelihatannya memang hanya berisi udara. Digoncang-digoncangnya sebentar. Kering. Tidak terdengar bunyi air bergolak sedikitpun.
"Tuh kan bensinnya habiiis..." seru Linn bangga gak terkira kecurigaannya terbukti benar.
"Aku tuh herannya kenapa bensin yang habis. Padahal kemarin aku isi pertalite. Bukan bensin?! Kok an...
"Sudahlah, Mas. Intinya motor ini kehabisan bahan bakar! Ngalah kenapa sih?!" seru Linn memenggal penjelasan garing Zuck.
Keduanya membisu. Padahal dalam hati masing-masing sibuk menggurutu dengan suasana tak menyenangkan itu. Untung ini novel. Andai sinetron pasti banyak yang bisa mendengar suara hati mereka.
"Trus gimana ini?" tanya Linn memecah keheningan.
"Gimana lagi. Mau nggak mau kita harus nuntun motor tua ini sampai ketemu penjual bensin," jawab Zuck lesu. "Tapi kayaknya susah nyari penjual bensil eceran di jalan utama begini," lanjut Zuck semakin lesu.
"Kalau nggak salah di deket rumah sakit Santa Maria ada SPBU. Kita ke sana aja. Nggak jauh kok."
"Masa sih?" Zuck coba mengingat-ngingat.
"Iya, Mas. Ada kok," Linn meyakinkan.
Zuck tersenyum lega. Rumah Sakit Santa Maria tidak jauh dari posisi mereka saat ini. Itu artinya ia tidak perlu membeli bensin eceran. Masalahnya Zuck walaupun ganteng, tapi punya sikap tak ingin mendekati hal-hal yang berbau narkoba dan miras. Makanya ia tidak ingin membeli bensin eceran kemasan botol topi miring.
"Nanti di SPBU, kita bisa nanya ke petugas, penjual bensin eceran terdekat di mana," sambung Linn.
Senyum lega di wajah Zuck sirna. Berubah melongo.
Saat itu, ada sepasang lelaki dan perempuan naik sepeda melintasi mereka. Entah masih pacaran entah sudah pasutri Zuck Linn tak tahu dan memang tak mau tahu. Yang pasti keduanya terlihat mesra.
Sang lelaki mendayung santai, menjaga sang perempuan yang duduk menyamping di palang tengah sepeda. Perempuan yang tampak tenang duduk diapit kedua lengan lelakinya itu, tersenyum kepada Linn. Linn membalas kecut.
"Harusnya tadi manasin motornya naik sepeda kayak gitu, biar nggak kehabisan bensin kayak gini," gerutu Linn setelah pengendara sepeda dayung itu menjauh.
Zuck belum berhenti melongo.
--=00=~--
Selanjutnya 👉 Zuck Linn #36: Sepeda Untuk Linn 2
4 komentar untuk "Zuck Linn #35: Sepeda Untuk Linn 1"
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.