Zuck Linn #36: Sepeda Untuk Linn 2
Sebelumnya 👉 Zuck Linn #35: Sepeda Untuk Linn 1
#36: Sepeda Untuk Linn 2
Dan berjalanlah dua manusia bucin itu, menyusuri jalanan sore Pekanbaru yang aspalnya tebal karena tidak dikorupsi. Linn berjalan gontai di depan, mendahului Zuck yang melangkah ngos-ngosan mendorong motor seorang diri. Bagi Zuck, peristiwa ini semakin menambah pengalaman paling berkesannya sebagai sobat misqueen regional Riau.
"Bantu dorongin dong. Tadi naiknya barengan, giliran dorong gini masa aku sendiri?" protes Zuck. Dongkol dengan Linn yang ternyata menjunjung rendah sikap susah senang bersama-sama.
Linn menghentikan langkah, menoleh 37,5 derajat ke arah Zuck, kemudian mengusap keringat di balik poninya. "Berat tau, Mas. Jalan tanpa beban gini aja capeknya udah capek banget. Malah disuruh dorong motor, mau bikin aku meninggal?"
"Halu banget!" maki Zuck tapi cuma berani di dalam hati.
Meski seharian ini mendung, tapi karena sedang dalam musim kemarau pendek, cuaca Pekanbaru terasa betul gerahnya. Asap tipis sejak tiga hari ini sudah mulai menghiasi awang-awang. Jika dalam tempo seminggu ke depan hujan belum juga turun, bencana kabut asap sangat mungkin akan terjadi lagi. Linn ingat, beberapa tahun terakhir ini polusi udara akibat kebakaran hutan selalu menjadi bencana yang terus terulang di setiap musim panas. Membuat Linn seandainya tidak anti LDR, pasti sudah meninggalkan Zuck dan pindah ke Meikarta!
"Bawa aku pergi di sini," desis Linn lirih.
"Biwi iki pirgi diri sini," ledek Zuck dengan mulut dibikin penyok-penyok.
Tangan kanan spontan Linn mengepal, siap melayangkan hook kiri ke mulut Zuck.
"Iya, Beb, sabar dong. Kita mampir ke tempat Jabon. Ntar kita pinjem motornya buat beli bensin. Tapi bantuin dorong sih," pinta Zuck dengan wajah memelas kayak temen pas mau minjem duit.
Linn menghela nafas menetralkan emosinya. "Emangnya rumah Bang Jabon deket-deket sini?"
"Rumahnya sih jauh. Tapi tempat usaha pangkas rambutnya nggak jauh dari sini."
Akhirnya Zuck memutuskan ke tempat Jabon dulu ketimbang langsung ke SPBU. Sebenarnya nggak terlalu jauh berbeda jauhnya. Cuma kalau ke SPBU lurus turus lewat jalan utama. Sementara ke tempat Jabon belok kiri melewati jalan tikus yang tidak ramai. Zuck males sama jalan utama, malu dilihatin masyarakat se-jalan raya, menuntun motor buntut bareng wanita yang begitu cantik.
Linn akhirnya turun tangan membantu mendorong motor Zuck.
"Beli sepeda dong, Mas. Pengen ngerasain naik sepeda dibonceng depan kayak cewek tadi. Udah gitu kalau sepeda, seandainya sewaktu-waktu kehabisan bensin, kan ndorongnya nggak berat kayak gini," rengek Linn.
Zuck terdiam mempelajari usalan Linn. Benar juga, kalau punya sepeda ontel, andai kehabisan bensin pasti dorongnya nggak akan seberat ini. Malah bisa sambil dinaikin. Tapi uang dari mana mau beli sepeda? Sebagai sobat miskin bintang lima, Zuck tak ingin menjual diri hanya demi ingin membeli sepeda.
"Mudah-mudahan kapan-kapan Pak Joko Widodo mau datang ke Pekanbaru sini," kata Zuck kemudian.
Linn memperlihatkan mimik wajah goblok. "Kenapa emangnya?"
"Biasanya kan blio kalau berkunjung ke suatu daerah suka ada sesi kuisnya. Jadi nanti pas Pak Jokowi ngasih pertanyaan 'ikan apa yang cantik?', aku akan jawab aja 'i... kan itu yayang aku, Alinna Bilqis Quinova'. Gitu. Trus aku dapet hadiah sepeda deh. Gimana?" tanya Zuck sambil mengangkat-angkat alis menatap Linn.
"Hadiah sepeda your head!" semprot Linn sedikitpun tak terperdaya gombalan Zuck.
Zuck mendengus. "Hargai dong usahaku..."
"Mau dihargai berapa? Matre banget sih jadi laki!"
Sambil ngobrol-ngobrol hal-hal yang nggak berfaedah, dan karena jaraknya juga deket, gak sampai sebulan keduanya sudah tiba di usaha pangkas rambut 'Mustika Raja' milik Jabon. Tampak di sana Jabon baru saja rampung mencukur salah satu pelanggannya dengan pangkasan rambut model Herman Dzumafo.
"Kirain Yondu," bisik Linn melihat hasil pekerjaan Jabon, sambil menoleh 38 derajat ke arah Zuck. Tapi Zuck biasa aja karena emang nggak kenal siapa itu Yondu. Soalnya dia bukan penggemar Marvel. Dia penggemar Spiderman. Entahlah! Gak jelas gini.
"Eh ada Dani Zuckici. Tumben main ke sini. Lagi susah nih pasti?" sambut Jabon, berdasarkan fakta selama ini Zuck emang sering baru ingat temen kalau lagi susah aja!
Zuck nyengir gak penting, kayak sapi jantan abis iseng mencicipi air pipis pasangannya. "Paham banget sih kamu, Bon."
"Motor kami kehabisan BBM," Linn menginformasikan.
Jabon manggut-manggut bijak. "Kan BBM emang udah punah. Coba ganti pakai Tinder aja."
"Hehe..." Linn berusaha keras tersenyum simpul demi mengapresiasi recehan Jabon yang sangat nggak mutu itu.
"Motor kamu nganggur kan, Bon?" selidik Zuck.
"Nganggur tuh. Entah gak mau cari kerja. Padahal pendidikannya cukup tinggi, udah sering banget disekolahin ke bank dan penggadaian," jawab Jabon bangga menjadi aktivis ribawi.
Zuck memperhatikan motor Jabon yang kelihatannya tidak dirawat dengan baik seperti anak sendiri. Rantainya kendor dan kering. Joknya baret-baret akibat keseringan diserang kucing garong. Bunyi klaksonnya menyedihkan. Pedalnya nggak ada.
"Terlantar banget sih motor kamu, Bon. Udah kayak motor sitaan di halaman polres."
"Yaelah, Zuck, mau pinjam aja pakai kebanyakan cangkem," serobot Jabon tak terima motor jeleknya dijelek-jelekin. "Biarpun begitu tampilannya, tapi performanya dijamin masih tok cer! Digeber di atas 100 juga sepele. Jadi masih sanggup banget kalau cuma buat membawa kamu lari dari kenyataan hidupmu yang gak jelas itu, Zuck!"
"Nice info, Gan! Sampean pancen ngeten!" puji Zuck mengacungkan jari tengah.
"Sebenarnya aku emang udah males melihara motor itu. Makanya terlantar. Aku pengen mobil," sambung Jabon lirih.
Zuck terdiam setengah detik. "Bentar. Maksudnya motor itu mau dimodifikasi menjadi mobil? Begitu kah?"
"Ya enggaklah nyet. Aku pengen beli mobil. Mobil pribadi gitu. Bukan mobile banking!" jawab Jabon tegas.
"Serius ini?"
"Serius banget. Soalnya kalau lagi jalan sama Nivi pakai motor itu, sama orang-orang suka dikira tukang ojek, padahal aslinya kan aku cuma seorang tukang cukur rambut biasa. Kan aku jadi gak enak. Yaudah, daripada makin melebar kemana-mana, aku mau beli mobil aja."
"Wah sukses dong kamu berarti sebentar lagi punya mobil," seru Zuck pura-pura ikut bahagia, padahal di dalam hatinya yang paling dangkal, mulai tumbuh benih-benih rasa dengki.
"Amin. Setidaknya kalau aku bawa mobil, pas jalan sama Nivi, orang-orang tidak akan menilai aku tukang ojek lagi. Pikiran mereka pasti akan berubah menganggap aku ini sopir pribadinya," terang Jabon dengan sebuah seringai pongah di sudut congornya. "Keren sekali bukan?"
"Keren parah asli gak ada obat! Oh iya, kira-kira kapan nih kamu beli mobilnya?" tanya Zuck sambil menahan rasa iri yang kian menyesakkan lambung.
"Nggak tau nih masih bingung. Soalnya kayak agak kurang gitu duitnya."
"Kurang berapa? Kalau kurang seribu duaribu, aku ikhlas bantu," tanya Zuck sambil merogoh-rogoh kantong celananya.
"Kurang banyak, Zuck. Orang sekarang aja baru ada satu juta."
"HAH?!!" Zuck mendelik kaget seakan bola matanya mau meledak.
Jabon cuma mengangkat bahu, bukannya mengangkat derajat orang tua.
"Asyu!" puji Zuck menggunakan bahasa daerah.
Linn yang sedari tadi diam kayak gedebog pisang goreng, seketika ngakak tidak sopan melihat adegan itu.
"Satu juta mau beli mobil?! Mobil roda berapa tuh? Mobil Tamiya?! Duit segitu mah paling dapat sepeda dayung!" repet Zuck asli kesel banget, rasa iri yang tadi sudah bersemayam di hatinya dan nyaris naik ke ubun-ubun, langsung ambyar gegara kehaluan Jabon yang sangat berlebihan.
"Ya, kan, jaman sekarang beli mobil nggak harus cash, Zuck. Bisa ngeriba dulu. Dicicil," jelas Jabon membela diri. "Rencanaku nih ya, bulan ini nyicil beli spion tengahnya dulu, bulan depan baut roda, bulan depannya lagi gantungan konci."
Sesaat Zuck manggut-manggut, lalu geleng-geleng, tak menyangka Jabon memiliki pemikiran radikal dan sejenius itu. Masuk akal juga pikir Zuck. Dia jadi terinspirasi membelikan sepeda untuk Linn dengan cara mencicil ala Jabon seperti itu. Bulan ini beli rantainya, bulan depan beli gir, bulan depannya lagi ikut tawuran anak STM. Lhah.
Sementara Zuck dan Jabon asik serius memperbincangkan dunia otomotif, Linn sok intelek membaca koran yang tersedia di bangku tunggu tempat pangkas rambut Mustika Raja itu. Kening Linn berkerut tak mengerti, membaca sebuah iklan berita kehilangan anjing yang dipasang di koran tersebut. Heran aja, emang anjing bisa baca? Pikir Linn.
Selanjutnya 👉 Zuck Linn #37: Sepeda Untuk Linn 3
*****
Selanjutnya 👉 Zuck Linn #37: Sepeda Untuk Linn 3
Posting Komentar untuk "Zuck Linn #36: Sepeda Untuk Linn 2"
Posting Komentar
Silakan berkomentar dengan tertib dan sopan sesuai dengan adat istiadat yang berlaku.